Perempuan Indonesia dan culture shock
Perempuan Indonesia adalah perempuan yang tumbuh besar di lingkungan yang sebagian besar patriarkal dengan nilai-nilai budaya yang sangat dipengaruhi oleh agama. Jadi, ketika kami keluar dari Indonesia dan tinggal di negeri orang, baik itu karena pernikahan, pekerjaan, atau karena memutuskan untuk tinggal di luar Indonesia, kami mengalami apa yang disebut dengan culture shock.
Sebagai perempuan Indonesia yang sekarang tinggal di negeri orang, saya mengambil kesempatan untuk mewawancarai sebagian dari teman-teman saya yang juga tinggal di negeri orang untuk berbagi tentang pengalaman culture shock mereka. Kami semua berasal dari latar belakang yang berbeda. Ada yang sudah lama berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar kebangsaan dan budaya, ada juga yang tidak atau jarang bepergian ke luar negeri.
Laurensia Ika, tinggal di Swiss
Culture shock paling utama yang Laurensia Ika, atau akrab dipanggil Ika, alami ketika sampai di Swiss adalah masalah ketepatan waktu. “Tepat waktu adalah budaya orang Swiss. Kalau kamu tiba di tempat pertemuan lebih awal, berarti kamu bersikap tidak sopan. Sedangkan ketika kamu tiba di tempat pertemuan terlambat dari waktu yang ditentukan, kamu bersikap kurang ajar,” kata Ika.
Tentu saja ini masalah besar untuk Ika beradaptasi, karena tepat waktu bagi orang Indonesia memiliki arti yang berbeda. Dalam budaya Indonesia, datang lebih awal atau datang terlambat beberapa menit dapat dikatakan tepat waktu.
Ika masih tinggal di Swiss sekarang. Jadi bisa dibilang, Ika berhasil beradaptasi dengan budaya tersebut.
Wiwi Veratiwi, tinggal di Amerika Serikat
Pengalaman culture shock Wiwi sangat berkaitan dengan situasi di Amerika Serikat pada saat ini. Budaya memiliki senjata dan diskriminasi ras.
Sebagai orang Indonesia, memiliki senjata seperti pistol bukanlah hal yang normal, apalagi menggunakannya di depan umum. Tapi itulah pengalaman Wiwi sehari-hari. Dengan mudahnya, seseorang dapat menembak orang lain di tengah hari. Bertetangga yang mayoritas memiliki senjata di rumah mereka masing-masing bukanlah cerita baru. “Tetangga selalu bilang bahwa senjata itu untuk membela diri kalau ada orang asing yang mereka tidak kenal,” kata Wiwi.
Selain itu, diskriminasi ras juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Itu sebabnya, tinggal di the land of the dream tidak selalu indah seperti yang dibayangkan orang-orang. Ada resiko yang harus diambil, derajat keamanan dan kewaspadaan yang harus diukur. Dan Wiwi beradaptasi dengan situasi tersebut.
Josephine, tinggal di Italia
Waktu di Jakarta, Josephine adalah seorang perempuan yang memiliki karir yang bagus dan kehidupan yang cukup nyaman. Dia pergi ke Italia setelah menikah dengan suaminya yang berkebangsaan Italia dan langsung berhadapan dengan culture shock dari berbagai aspek.
Josephine butuh waktu lebih dari satu tahun untuk mempelajari bahasa dan budaya Italia. Di saat bersamaan, dia berurusan dengan birokrasi Italia yang sangat rumit (bahkan lebih rumit dari Indonesia), dan berjuang dengan status barunya sebagai Ibu Rumah Tangga tanpa memiliki penghasilan sendiri.
Sebagai perempuan yang terbiasa mandiri dan memiliki penghasilan sendiri, tentu saja sulit untuk beradaptasi dengan status barunya. Butuh waktu lama bagi Josephine untuk akhirnya menguasai bahasa, mengerti budaya, dan mencari jalannya sendiri untuk bisa berkarir. Dan butuh kesabaran yang lebih banyak untuk menerima situasi birokrasi Italia.
“Butuh waktu lama buat saya untuk beradaptasi dan akhirnya menemukan jalan baru untuk berkarir. Saya sangat bersemangat!” kata Josephine yang sekarang sedang mengembangkan bisnis onlinenya.
Alamanda, tinggal di Spanyol
“Tinggal di Spanyol itu tidak enak, ingin sombong saja sulit,” kata Alamanda, atau akrab dipanggil Manda.
Seperti umumnya perempuan Indonesia, Manda hobi mengukur pencapaian diri sendiri dibandingkan dengan teman-teman sepergaulan. Tujuannya sederhana, supaya terlihat lebih superior dari orang lain.
Akan tetapi, sementara teman-temannya melaju dalam karir mereka di Indonesia, Manda menikah dan pindah ke desa kecil di Spanyol bagian Selatan. Apakah hal tersebut bisa disebut sebagai pencapaian?
Desa kecil dimana Manda tinggal terdiri dari berbagai macam orang dari berbagai macam latar belakang dan kebangsaan. Ada sesama perantau yang datang dari Afrika atau Cina. Ada juga pendatang dari negara-negara Eropa lainnya. Dan yang paling penting, orang-orang Spanyol yang lahir dan besar di desa tersebut.
Dari pergaulan yang beragam, baik dari segi budaya, umur, dan gender tersebut Manda belajar bahwa pencapaian diri adalah hal yang tidak penting buat tetangga-tetangganya. Harga diri seseorang tidak dapat diukur dari pencapaian diri sendiri karena setiap orang memiliki perjuangannya masing-masing dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tidak ada seorang pun yang lebih tinggi ataupun lebih rendah dari orang lain.
Manda yang sekarang adalah Manda yang tidak malu untuk mengakui kekurangan dan bersedia untuk belajar kepada mereka yang lebih pandai.
Diah Rany, tinggal di Australia
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ursula Beerman, Senior Lecturer at the Institute of Psychology dari University of Innsbruck, menunjukkan orang yang mampu untuk menertawakan dirinya sendiri memiliki kemampuan untuk tidak membawa diri sendiri terlalu serius atau mampu untuk mengakui bahwa dirinya bukanlah pusat dari semua perhatian atau pusat dari semesta. (sumber: HERE).
Dan itulah yang pertama saya perhatikan ketika menetap di Australia. Orang-orang Australia adalah orang-orang yang lebih santai dalam menjalani hidup, tidak mudah tersinggung, dan mampu menertawakan diri mereka sendiri. Datang dari negara yang mayoritas orangnya mudah tersinggung, apalagi kalau sudah membicarakan benar atau salah, budaya Australia tersebut tentu saja menjadi “culture shock” buat saya.
Sebagai contoh, mereka mengomentari pemerintah mereka dengan kata-kata apapun dari yang sopan sampai yang paling kasar, baik offline maupun online. Tapi, tidak ada tuntutan hukum yang diajukan kepada orang-orang tersebut. “No worries, mate!” adalah kalimat yang sangat normal terdengar di mana-mana.
Sangat menyegarkan sekali tinggal di lingkungan yang orang-orangnya lebih santai dan tidak mudah tersinggung.
Demikianlah kisah-kisah kami beradaptasi di negeri orang. Bagi teman-teman dan keluarga kami di Indonesia, stereotype hidup di negeri orang itu biasanya kebebasan, kebahagiaan, dan kekayaan. Tentu saja, itu adalah persepsi yang keliru. Culture shock adalah aspek yang harus kami lewati dengan penuh perjuangan mulai dari kebiasaan, gaya bahasa, dll, Kami belajar untuk mengambil yang baik dari dua dunia dimana kami hidup, budaya Indonesia di mana kami dibesarkan, dan budaya negara lain di mana kami tinggal.